Dodi Rio j, SH.
Dalam sejarah pendidikan tinggi, rektor tidak lahir sebagai pelayan kekuasaan, melainkan sebagai penjaga kebenaran dan moralitas ilmu. Akar katanya, rector (Latin) dari regere berarti meluruskan, menuntun, memimpin (baca; Rektor).
Maka seorang rektor sejatinya adalah “penjaga kelurusan,” bukan sekadar pengelola administrasi universitas. Ia adalah figur moral yang berdiri di antara dua dunia, dunia ilmu yang menuntut kebebasan berpikir dan dunia politik yang menuntut loyalitas kekuasaan.
Politik, dengan segala dinamikanya, bekerja berdasarkan kalkulasi kekuasaan, siapa menguasai, siapa dikendalikan. Sementara dunia akademik berlandaskan pencarian kebenaran, sesuatu yang tidak bisa ditawar dengan kompromi politik.
Maka ketika politisi mencoba mengintervensi arah universitas, menentukan kebijakan kampus, atau bahkan menekan rektor agar tunduk pada agenda kekuasaan, di situlah lahir ketegangan antara akademia dan politik praktis.
Rektor yang memilih berpihak pada ilmu pengetahuan akan tampak “bertentangan dengan politisi.”
Namun sesungguhnya, ia tidak sedang melawan kekuasaan, melainkan melindungi ruang kebenaran dari korupsi kekuasaan.
Ia menjadi benteng terakhir agar kampus tidak kehilangan jati dirinya sebagai “rumah kebebasan berpikir.”
Otonomi akademik bukan sekadar hak institusi untuk mengatur diri, tetapi roh yang menjaga kemurnian ilmu dari campur tangan politik.
Rektor yang menjaga otonomi akademik berarti menolak tunduk pada kepentingan sesaat, sekalipun tekanan datang dari pejabat tertinggi negeri maupun yang ada didaerah.
Ia mungkin akan dianggap “keras kepala,” “tidak kompromis,” atau bahkan “oposisi.”
Namun sejarah membuktikan, universitas hanya tumbuh besar di tangan pemimpin yang berani berbeda dengan penguasa.
Socrates dihukum mati karena mempertahankan kebenaran; Galileo dipaksa menyangkal bumi yang berputar; namun dari keberanian merekalah lahir peradaban modern yang berakar pada nurani ilmu, bukan pada perintah politik.
Hal serupa, nampak akademisi mencari kebenaran dan politisi sering menginginkan legitimasi moral dari universitas, ingin tampil cerdas, berwibawa, dan intelektual.
Namun ketika kebijakan mereka dikritik oleh kaum akademisi, mereka merasa otoritasnya ditantang.
Di sinilah rektor harus mengambil posisi: apakah menjadi bagian dari kekuasaan, atau menjadi penjaga moralitas publik yang menegur kekuasaan ketika ia melenceng.
konteksnya, dinamika pemerintahan daerah yang sementara kocar-kacir, berkreasi, inovasi untuk meningkatkan kestabilan keuangan daerah yang turun akibat kebijakan nasional terkait Dana Transfer ke Daerah (TKD), sangat rentan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), hingga Dana Insentif Daerah (DID).
sementara Kabupeten Pulau Morotai, paska manipulasi dokumen Anggaran Belanja dan Penganggaran Daerah (APBD) sudah redup ditelan pemangsa otoritas.
Dengan demikian, Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran di Kabupaten Pulau Morotai, tidak pernah disentuh problemnya, sedangkan kunci penganggaran setahun ada pada penyusunan KUA-PPAS, Renstra, RKPD yang merubah pola perencanaan.
Kabupaten pulau morotai, sengaja membentuk dinamika politik partisan, dibawah ketiak penguasa yang rapuh atas kebobrokan, termasuk legislatif yang pongah.
Penjaga moral akademik sudah persis dengan politisi, merampingkan resiko masyarakat Pulau Morotai, apakah mereka pernah berfikir pengurangan dana TKD itu memengaruhi pelayanan dasar Masyarakat? tapi, mereka memaksa kehendak wakil Bupati Pulau Morotai memangku jabatan ganda tanpa konsep yang riil untuk pembangunan Pulau Morotai kedepan.
Sebuah nalar picik, penjaga moral yang mengatasnamakan Rektor, tidak berani bersuara bukan berarti anti-pemerintah,
Seharusnya, ia mampu menjalankan fungsi intelektualnya, mengoreksi kekuasaan agar tetap rasional dan berpihak pada rakyat.
Jika rektor diam demi kenyamanan, maka universitas kehilangan suaranya, dan ilmu kehilangan martabatnya.
Rektor bukan sekadar administrator akademik; ia adalah imam intelektual yang menjaga agar kampus tidak menjadi “pasar politik.”
Ia bertanggung jawab pada dua hal besar: kebenaran dan kemanusiaan.Dan dua hal itu seringkali berseberangan dengan agenda politik yang pragmatis.
Maka, ketika rektor menolak tekanan, menentang intervensi, atau bersuara melawan ketidakadilan kebijakan publik, ia sedang menjalankan perintah moral jabatannya.
Ia bukan pemberontak, melainkan penjaga peradaban. Rektor yang bertentangan dengan politisi bukan musuh negara; ia adalah penjaga agar negara tidak kehilangan akalnya.
Dalam dirinya, universitas menemukan martabatnya kembali, ruang di mana kebenaran tidak ditentukan oleh kekuasaan, tetapi oleh nurani dan akal sehat.
Seperti yang diucapkan filsuf Immanuel Kant,“Sapere aude” — beranilah berpikir sendiri.
Dan rektor yang berani berbeda dengan politisi sejatinya sedang menegakkan pesan itu:
bahwa berpikir benar jauh lebih mulia daripada berpihak buta.




