Oleh :Mukhtar A. Adam, Akademisi Unkhair Ternate
Bagi banyak kalangan yang fokus memotret ekonomi dan Fiskal Maluku Utara, akan sangat terbiasa membaca Laporan yang disajikan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia dan Kantor Wilayah Kementerian Keuangan, 2 lembaga dalam 2 wajah memotret ekonomi dari sisi moneter dan fiskal, sehingga membaca Laporan Bank Indonesia akan terbaca fokus dan cakupan yang menekankan pada stabilitas makroekonomi regional, inflasi, PDRB, sektor keuangan, sistem pembayaran, serta prospek ekonomi. Laporan BI banyak menggunakan data high frequency dan berorientasi ke stabilitas moneter dan perbankan.
Akan berbeda jika turun-turun jalan jati ketemu Kanwil Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang fokus pada APBD, transfer ke daerah, realisasi belanja, dan kapasitas fiskal daerah, sehingga kajian fiskal regional akan menekankan bagaimana kinerja fiskal mendukung pembangunan daerah, kualitas belanja, dan ruang fiskal pemerintah daerah.
Dengan demikian, laporan BI lebih kuat di aspek demand-supply agregat dan stabilitas keuangan, sedangkan KFR menekankan keberlanjutan fiskal daerah, yang keduanya memotret Maluku Utara dari 2 sisi yang perlu menjadi bahan bacaan bagi Pemerintah Daerah, Peneliti dan Mahasiswa yang fokus ekonomi dan fiskal.
Tahun 2025, Bank Indonesia Merilis Laporan Perkembangan Ekonomi Triwulan II, BI, mencatat pertumbuhan Maluku Utara triwulan II 2025 mencapai 32,09% (yoy), tertinggi di Indonesia, didorong hilirisasi nikel. Namun, konsumsi rumah tangga melambat (4,58%) karena normalisasi pasca Idul Fitri.
Inflasi terkendali di 2,01%, selaras dengan Kemenkeu yang mengungkap realisasi belanja pemerintah relatif rendah pada kisaran 25,8% per triwulan II 2025, sehingga kemenkeu berasumsi fungsi stimulus fiskal kurang optimal, yang menggambarkan fenomena Growth Paradox, Dimana pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi rakyat Maluku Utara mengalami kelemahan konsumsi dari daya beli yang rendah, diikuti dengan belanja pemerintah rendah
kedua lembaga ini menyepakati bahwa ekonomi tambang ternyata tidak inklusif, ekonomi yang terkesan luar biasa tapi miskin dan daya belinya juga terpuruk, yang tercermin dari inflasi yang rendah, Kesimpulan sementara ini menunjukan bahwa kenikmatan pertumbuhan tak dinikmati warga Maluku Utara, yang dikenal Bahagia dalam kemiskinan, (Paradok Miskin dalam Bahagia)
BI melaporkan kinerja perbankan positif, ekspansi kredit pertambangan naik signifikan, dan pertanian, NPL < 5%. Akses UMKM mulai meningkat, tapi NPL UMKM naik dari 3,54% ke 3,66%, tumbuh walau tipis, sedangkan Kemenkeu, mengulas transfer ke daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari tambang, yang jika dibandingkan dengan nilai ekspor, sangat rendah, walau demikian KFR menunjukan bahwa tantangan fiskal Malut terlihat dari ketergantungan daerah pada DBH nikel, risiko fluktuasi harga global, serta rendahnya PAD selain sektor tambang.
BI dan Kemenkeu merekomendasikan pilihan kebijakan lain, Tambang tidak memberi dampak signifikan bagi kesejahteraan Pritchett (2020) menyebut pertumbuhan berbasis SDA seperti nikel sering menciptakan “boomtown effect” disisi lain Fiskal Maluku Utara, walaupun nilai Ekspor Maluku Utara mencapai 11 kali lipat dari Produk Domestik Regional Bruto, yang mencatatkan pertumbuhan tinggi yang memperkaya investor Tiongkok, sehingga Pemerintah dan Masyarakat Maluku Utara perlu mencari jalan lain mengelola fiskal dan investasi dari sisi kredit untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang inklusif, Gupta & Keen (2022) menawarkan tantangan fiskal negara berbasis komoditas, melalui Kawasan Industri Rempah yang diendus fiskal untuk komoditi rakyat.
Gejala ini disajikan dalam Fenomena Utama atas laporan Hilirisasi nikel, pendorong PDRB Maluku Utara naik tajam, namun belum diimbangi diversifikasi ekonomi, sedangkan APBD rendah serapan, menyebabkan belanja modal dan pelayanan publik tertahan, mengurangi multiplayer effect pertumbuhan.
Akibat yang dirasakan pertumbuhan ekonomi tinggi Inflasi rendah, karena permintaan rendah, dan kesejahteraan stagnan, meskipun NTP petani naik (107,26), tingkat pengangguran terbuka juga naik ke 4,26%.
Bank Indonesia, dengan sangat agresif menyajikan analisis makro lengkap (PDRB, inflasi, lapangan usaha, perbankan), yang didukung Data kuantitatif komprehensif hingga sektor mikro (UMKM, transaksi QRIS, e-commerce), disertai analisis Prospektif, memuat outlook ekonomi dan risiko eksternal (perang dagang AS–Tiongkok), tapi tak cukup mengungkap dampak distribusi kesejahteraan (misal kemiskinan di sekitar tambang) dan Dominan makro, minim evaluasi implementasi kebijakan daerah.
Kemenkeu melalui (KFR), lebih Fokus pada kapasitas fiskal daerah, realisasi APBD, kualitas belanja, yang diikuti dengan analisis langsung terkait kemampuan daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan public, yang tentu relevan untuk kebijakan fiskal jangka menengah. Namun Minim pembahasan risiko makro ekonomi (ekspor-impor, inflasi). Dan terlalu teknokratis, sehingga tidak selalu terbaca masyarakat luas.
Publik tentu membutuhkan kolaborasi strategis Bank Indonesia, Kemenkeu dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, untuk bergerak searah, tidak sectoral, tetapi saling mengisi walau kutub yang berbeda, menyatu dalam searah visi Sejahtera yang timpang di Maluku Utara




