Oleh: Muhammad Fajar Djulhijan


Pendahuluan

Maluku Utara adalah anugerah geografis yang tak ternilai. Dikelilingi laut luas dengan gugusan pulau yang eksotis, provinsi ini menempati ruang strategis dalam jalur rempah dunia, persis di persimpangan Samudra Pasifik. Potensi kemaritiman begitu melimpah: perikanan tangkap, budidaya laut, pariwisata bahari, hingga cadangan nikel bawah laut. Namun, seperti banyak daerah kepulauan lain, potensi ini seringkali hanya menjadi narasi indah di atas kertas, sementara kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih jauh dari maksimal.

Di sinilah relevansi membaca daerah menjadi penting. Membaca bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan upaya kader untuk menafsirkan realitas, menemukan problem struktural, dan meracik wacana yang mampu menggerakkan perubahan. Bagi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), membaca daerah berarti merumuskan strategi gerakan yang berpihak pada rakyat kecil, terutama masyarakat pesisir yang selama ini berada di lapisan bawah piramida pembangunan.

Maluku Utara dan Potensi Kemaritiman

Jika kita jujur, sektor kelautan Maluku Utara masih berjalan setengah hati. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa produksi perikanan Maluku Utara terus meningkat, tetapi nilai tambah ekonominya justru banyak dinikmati oleh perusahaan luar daerah. Nelayan kecil masih terjebak dalam lingkaran ekonomi tradisional: keterbatasan armada, minimnya akses permodalan, dan lemah dalam rantai distribusi.

Di sisi lain, pariwisata bahari dengan ikon Morotai, Halmahera, hingga Widi Islands belum benar-benar menjadi tulang punggung PAD. Infrastruktur pendukung masih terbatas, promosi tidak terintegrasi, dan kebijakan pemerintah daerah kerap inkonsisten. Akibatnya, Maluku Utara tetap berada dalam paradoks: kaya sumber daya, miskin pengelolaan.

Membaca realitas ini, kita dapat menyimpulkan dua hal: pertama, ada potensi luar biasa yang bisa menjadi lokomotif pembangunan; kedua, ada masalah struktural yang menghambat transformasi potensi menjadi kekuatan ekonomi. Inilah ruang dialektika bagi kader PMII untuk tidak sekadar mengkritik, tetapi juga menawarkan agenda transformatif.

Tiga Lensa Kontekstualisasi Paradigma PMII di Maluku Utara

PMII memiliki modal ideologis untuk hadir dalam diskursus ini. Paradigma kritis-transformatif yang kita warisi dari para pendiri organisasi bukan sekadar jargon, melainkan metode berpikir sekaligus sikap politik. Dalam konteks Maluku Utara, paradigma ini menuntut kita membaca isu maritim dengan tiga lensa:

  1. Lensa kritis – melihat akar persoalan bukan hanya pada individu nelayan, tetapi pada struktur ekonomi politik yang timpang. Mengapa PAD dari sektor kelautan rendah? Karena regulasi lebih berpihak pada investor besar, sementara nelayan kecil termarjinalkan.
  2. Lensa transformatif – menghadirkan wacana alternatif yang bisa mendorong kebijakan pro-rakyat. Misalnya, advokasi untuk BUMD maritim, koperasi nelayan modern, dan industrialisasi perikanan berbasis lokal.
  3. Lensa keumatan-kebangsaan – meletakkan perjuangan maritim Maluku Utara dalam kerangka nasional sekaligus spiritual. Laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga amanah Tuhan yang harus dijaga untuk kesejahteraan umat manusia.

Paradigma ini menegaskan bahwa PMII tidak boleh puas menjadi penonton. Kita adalah subjek yang bertugas meracik wacana, menggagas narasi baru, sekaligus membumikan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam praksis sosial.

Posisi PMII Dan Kemaritiman di Maluku Utara

Pertanyaannya, di mana posisi PMII dalam percaturan isu maritim Maluku Utara?

Pertama, PMII harus menjadi laboratorium gagasan. Forum-forum kaderisasi tidak boleh berhenti pada retorika, tetapi harus melahirkan rekomendasi kebijakan. Misalnya, PMII dapat mendorong riset kader tentang rantai distribusi perikanan, lalu menyajikannya sebagai masukan kritis bagi pemerintah daerah.

Kedua, PMII harus menjadi jembatan antara masyarakat pesisir dan kebijakan publik. Banyak nelayan tidak memiliki akses menyuarakan aspirasi. PMII dapat memainkan peran advokasi, mengawal regulasi, dan membangun jejaring dengan LSM, akademisi, hingga media. Dengan begitu, suara nelayan tidak hilang di tengah riuh kepentingan elit.

Ketiga, PMII harus memperkuat basis sosialnya. Gerakan mahasiswa sering kali terjebak dalam elitisasi, jauh dari realitas masyarakat. Dengan turun langsung ke kampung-kampung pesisir, mengajar literasi, mendampingi koperasi nelayan, dan menginisiasi pelatihan digitalisasi pemasaran, PMII akan membuktikan dirinya sebagai organisasi kaderisasi yang berdampak nyata.

Keempat, PMII harus menegaskan peran politik moral. Artinya, tidak sekadar ikut dalam kontestasi elektoral, tetapi menjadi penentu arah kebijakan. Dalam konteks Maluku Utara, PMII bisa menyuarakan bahwa pembangunan tidak boleh lagi berorientasi daratan semata, tetapi harus berporos pada laut sebagai identitas dan masa depan.

Merumuskan Agenda Gerakan

Agar lebih konkret, ada beberapa agenda gerakan yang bisa diracik oleh PMII Maluku Utara:

Kedaulatan Nelayan – mendorong kebijakan afirmatif seperti subsidi BBM nelayan, penguatan koperasi, dan industrialisasi berbasis lokal.

Ekowisata Bahari – menggagas konsep pariwisata berbasis komunitas dengan menjaga kelestarian lingkungan laut.

Riset dan Inovasi Maritim – membangun kolaborasi dengan kampus untuk riset kelautan yang aplikatif.

Literasi Maritim – menjadikan diskursus maritim sebagai bagian dari kaderisasi PMII, agar setiap kader memahami realitas daerahnya.

Advokasi Kebijakan – membangun aliansi strategis untuk mengawal regulasi yang berpihak pada masyarakat pesisir.

Agenda-agenda ini bukan hanya retorika, tetapi peta jalan untuk menegaskan posisi PMII sebagai aktor intelektual dan sosial di Maluku Utara.

Penutup

Membaca daerah, meracik wacana bukanlah pilihan, melainkan kewajiban kader PMII. Maluku Utara dengan lautnya adalah cermin sekaligus ujian: apakah kita mampu mengubah potensi menjadi kesejahteraan, atau terus membiarkan rakyat hidup dalam paradoks kemiskinan di tengah kekayaan.

PMII Maluku Utara harus berdiri di garis depan, menjahit narasi besar tentang kedaulatan maritim dengan gerakan nyata di basis sosial. Dengan paradigma kritis-transformatif, kita bukan hanya penafsir realitas, tetapi juga peracik wacana yang memandu arah perubahan.

Jika bangsa ini ingin kembali menjadi poros maritim dunia, maka Maluku Utara harus menjadi episentrumnya. Dan jika Maluku Utara ingin bangkit, maka PMII harus hadir sebagai motor intelektual dan moral yang memastikan laut benar-benar menjadi masa depan.

Catatan:

Tulisan ini merupakan sarat bakal calon Ketua Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC-PMII) Maluku Utara, dan bakal dikembangkan oleh penulis kedepannya.